Seiring berkembangnya kota/kab madiun dengan munculnya gedung-gedung bertingkat dan taman hiburan masyarakat, jangan dilupakan bahwa asal muasal munculnya nama madiun menjadi salah satu kota/kabupaten di Indonesia. Menurut berbagai sumber, dulu wilayah madiun berasal dari dua desa yaitu desa wonorejo (sumber lain menyebutkan wonoasri) dan desa purbaya/purabaya. Ketika tahun 1568 Kesultanan Demak mengalami perpecahan dengan adanya perang saudara yang dimenangkan oleh Mas Karebet atau Jaka Tingkir atau Sultan Hadiwijaya, dengan restu para wali menggantikan kedudukan mertuanya Sultan Trenggono sebagai Sultan. Namun, Sultan Hadiwijaya tidak mau bertempat tinggal di Demak. Sultan Hadiwijaya kemudian memindahkan pusat pemerintahannya ke Pajang. Putra Sultan Trenggono lainnya atau adik ipar Sultan Hadiwijaya yang bernama Ki Panembahan Ronggo Jumeno oleh Sunan Bonang yang mewakili para wali diangkat menjadi Bupati Madiun pada tanggal 18 Juli 1568. Ki Panembaha Ronggo Jumeno memerintah wilayah tersebut pada tahun 1568 � 1586. Bisa dibilang, wilayah ini yang babad alas adalah Ki Panembahan Ronggo Jumeno atau biasa disebut Ki Ageng Ronggo. Ki Ageng Ronggo ini juga memiliki julukan terkenal yaitu Pangeran Timur.
Wilayah yang tadinya bernama Purbaya/Purabaya kemudian berganti nama menjadi Madiun. Ada beberapa versi yang menyebabkan munculnya kata Madiun. Pertama, gabungan dari kata �medi� dan �ayun� yang bermakna �hantu� dan �bergerak ke depan-belakang atau ke samping secara teratur�. Jika kedua kata itu digabungkan, maka terwujudlah kata bentukan �mediayun� yang maknanya �hantu yang berayun-ayun�. Kedua, kata �madya� dan �ngayun� masing-masing kata bermakna �di tengah� dan �di depan�, jika digabungkan menjadi kata bentukan �madyangayun�. Makna dari penggabungan kudua kata ini tidak dijelaskan ada penjelasan lebih lanjut. Ketiga, gabungan kata �beji� dan �ayun� jika digabungkan menjadi �bejiayun�. Makna dari bejiayun ini berarti �pertempuran di sendang�. keempat asal kata �madiun� terkait dengan kata �madya� yang artinya �tengah�. Dari keempat versi asal kata madiun ini, yang paling mashur dikalangan masyarakat adalah versi pertama dan ketiga. Menurut cerita, Ketika Ki Mpu Umyang/Ki Sura bersemedi untuk membuat sebilah keris di sendang panguripan (sendang amerta) di Wonosari (Kuncen) diganggu gendruwo/hantu yang berayun-ayun di pinggir sendang, maka keris tersebut diberi nama �Tundung Mediun�. Kemudian cerita lain berasal dari �Mbedi� (sendang) �ayun-ayunan� (perang tanding) yaitu perang antara Prajurit Mediun yang dipimpin oleh Retno Djumilah di sekitar sendang.
Pemerintahan Kabupaten Madiun awalnya berada di Desa Nguwaran, Dolopo, kemudian pusat pemerintahan dipindahkan ke Desa Sogaten. Pada tahun 1575 berpindah lagi ke Desa Wonorejo atau Kuncen, Kota Madiun sampai tahun 1590. Pusat pemerintahan Kota Madiun semula adalah "Kuto Miring" terletak di Desa Demangan Kecamatan Taman Kota Madiun, kemudian digeser ke utara lagi yaitu ditengah Kota Madiun (sekarang di Komplek Perumahan Dinas Bupati Madiun). Pada tanggal 1 Januari 1832 Madiun secara resmi dikuasai oleh Pemerintah Hindia belanda dan dibentuk suatu Tata Pemerintahan yang berstatus "Karisidenan". Ibu Kota Karisidenan berlokasi di Desa Kartoharjo (tempat Patih Kartohardjo) yang berdekatan dengan Istana Kabupaten Madiun di Pangongangan. Pada tahun 1906 Kerajaan Belanda mengeluarkan Undang-Undang yang bertujuan untuk memisahkan wilayah perkotaan Madiun dari Pemerintah Kabupaten Madiun dan sampai sekarang pemerintahan di wilayah Madiun terbagi menjadi Kotamadya Madiun dan Kabupaten Madiun.
Beberapa peninggalan keadipatian Madiun salah satunya dapat dilihat di Kelurahan Kuncen, dimana terdapat makam Ki Ageng Panembahan Ronggo Jumeno, Patih Wonosari selain makam para Bupati Madiun, Masjid Tertua di Madiun yaitu Masjid Nur Hidayatullah dll. Di Kelurahan Taman juga dimakamkan pahlawan-pahlawan pada zaman lampau, termasuk Kyai Ronggo (tapi tak jelas disebutkan yang mana, karena Ronggo ada Ronggo I s/d III) Ali Basah Sentot Prawirodirdjo adalah putra dari Ronggo II.
Wilayah yang tadinya bernama Purbaya/Purabaya kemudian berganti nama menjadi Madiun. Ada beberapa versi yang menyebabkan munculnya kata Madiun. Pertama, gabungan dari kata �medi� dan �ayun� yang bermakna �hantu� dan �bergerak ke depan-belakang atau ke samping secara teratur�. Jika kedua kata itu digabungkan, maka terwujudlah kata bentukan �mediayun� yang maknanya �hantu yang berayun-ayun�. Kedua, kata �madya� dan �ngayun� masing-masing kata bermakna �di tengah� dan �di depan�, jika digabungkan menjadi kata bentukan �madyangayun�. Makna dari penggabungan kudua kata ini tidak dijelaskan ada penjelasan lebih lanjut. Ketiga, gabungan kata �beji� dan �ayun� jika digabungkan menjadi �bejiayun�. Makna dari bejiayun ini berarti �pertempuran di sendang�. keempat asal kata �madiun� terkait dengan kata �madya� yang artinya �tengah�. Dari keempat versi asal kata madiun ini, yang paling mashur dikalangan masyarakat adalah versi pertama dan ketiga. Menurut cerita, Ketika Ki Mpu Umyang/Ki Sura bersemedi untuk membuat sebilah keris di sendang panguripan (sendang amerta) di Wonosari (Kuncen) diganggu gendruwo/hantu yang berayun-ayun di pinggir sendang, maka keris tersebut diberi nama �Tundung Mediun�. Kemudian cerita lain berasal dari �Mbedi� (sendang) �ayun-ayunan� (perang tanding) yaitu perang antara Prajurit Mediun yang dipimpin oleh Retno Djumilah di sekitar sendang.
Pemerintahan Kabupaten Madiun awalnya berada di Desa Nguwaran, Dolopo, kemudian pusat pemerintahan dipindahkan ke Desa Sogaten. Pada tahun 1575 berpindah lagi ke Desa Wonorejo atau Kuncen, Kota Madiun sampai tahun 1590. Pusat pemerintahan Kota Madiun semula adalah "Kuto Miring" terletak di Desa Demangan Kecamatan Taman Kota Madiun, kemudian digeser ke utara lagi yaitu ditengah Kota Madiun (sekarang di Komplek Perumahan Dinas Bupati Madiun). Pada tanggal 1 Januari 1832 Madiun secara resmi dikuasai oleh Pemerintah Hindia belanda dan dibentuk suatu Tata Pemerintahan yang berstatus "Karisidenan". Ibu Kota Karisidenan berlokasi di Desa Kartoharjo (tempat Patih Kartohardjo) yang berdekatan dengan Istana Kabupaten Madiun di Pangongangan. Pada tahun 1906 Kerajaan Belanda mengeluarkan Undang-Undang yang bertujuan untuk memisahkan wilayah perkotaan Madiun dari Pemerintah Kabupaten Madiun dan sampai sekarang pemerintahan di wilayah Madiun terbagi menjadi Kotamadya Madiun dan Kabupaten Madiun.
Beberapa peninggalan keadipatian Madiun salah satunya dapat dilihat di Kelurahan Kuncen, dimana terdapat makam Ki Ageng Panembahan Ronggo Jumeno, Patih Wonosari selain makam para Bupati Madiun, Masjid Tertua di Madiun yaitu Masjid Nur Hidayatullah dll. Di Kelurahan Taman juga dimakamkan pahlawan-pahlawan pada zaman lampau, termasuk Kyai Ronggo (tapi tak jelas disebutkan yang mana, karena Ronggo ada Ronggo I s/d III) Ali Basah Sentot Prawirodirdjo adalah putra dari Ronggo II.
0 comments:
Post a Comment